Bagi manusia
Padahal, secara substansial bangsa kita dikenal sangat ramah, sopan, santun dan sangat menghargai perbedaan sebagai aset kekayaan dalam dinamika hidup keseharian. Transparansi potret perilaku ini adalah cermin yang tak bisa disangkal. Bahkan, relung kehidupan terhadap nilai-nilai etika, moral dan budaya menjadi bagian yang tak terpisahkan. Namun, kenyataannya kini semuanya telah tercerabut dan ”nyaris” terlupakan.
Barangkali ada benarnya, dalam potret kehidupan bangsa yang amburadul ini, kita masih memiliki wadah BKKNI (Badan Koordinasi Kebudayaan Nasional Indonesia) yang mengubah haluan dalam transformasi sosial, menjadi BKKI (Badan Kerja sama Kesenian Indonesia) pada Februari lalu. Barangkali dengan baju dan bendera baru ini, H. Soeparmo yang terpilih sebagai ”bidannya” dapat membawa reformasi struktural dan sekaligus dapat memobilisasi aktivitas kesenian sebagaimana kebutuhan bangsa kita. Sebab, salah satu tugas dalam peran berkesenian adalah membawa kemerdekaan dan kebebasan kreativitas bagi umat manusia sebagai dasar utama.
Tulang Punggung
Suatu dimensi baru, jika dalam pola kebijakan untuk meraih citra sebagai manusia
Dalam koridor menjalin kesatuan dan persatuan bangsa, dan mengangkat citra kehidupan manusia
Namun demikian, gradasi budaya itu menukik tajam, dan dapat dirasakan sejak jatuhnya rezim Soeharto. Meskipun, pada rezim kekuasaan Orde Baru bukan berarti tidak ada sama sekali pelanggaran terhadap nilai-nilai kemanusiaan, justru karena terselubung dengan rapi maka ”borok” kemerosotan moral itu tidak begitu tampak. Tetapi, kini semuanya menjadi serba terbuka dan menganga. Siapa pun punya hak dan kewajiban untuk menjadi ”pelaku” reformasi, tidak sekadar jadi penonton. Itu sebabnya, tidaklah salah jika dalam memperbaiki kondisi bangsa, kita juga proaktif dalam menyikapinya.
Tak dapat disangkal, jika kesenian merupakan kebutuhan dasar manusia secara kodrati dan unsur pokok dalam pembangunan manusia
Unsur penciptaan manusia sebagai proses adalah konteks budaya. Dalam hal ini, apa yang diimpikan Konosuke Matsushita dalam bukunya Pikiran Tentang Manusia menjadi dasar pijakan kita, jika ingin menjadi manusia seutuhnya. Sebab, pada dasarnya manusia membawa kebahagiaan dan mengajarkan pergaulan yang baik dan jika perlu memaafkan sesamanya. Karena, dari sinilah dapat berkembang kesenian, kesusastraan, musik dan nilai-nilai moral. Sehingga, pikiran manusia menjadi cerah dan jiwanya menjadi kaya.
Bertalian dengan konteks itu, Soeparmo dalam ceramahnya di depan pengurus daerah juga mengatakan hal yang sama. Artinya, jika manusia sudah tidak mampu menjalankan tugas kreativitasnya, maka manusia itu menjadi mandek dan mengesampingkan nilai-nilai kemanusiaan.
Kondisi Semrawut
Carut marut kehidupan saat ini, semakin tumpang tindih. Persoalan bangsa menjadi bara api yang sulit untuk dipadamkan. Kondisi sosial yang tidak lagi bersahabat, menjadikan manusia makin kehilangan jati dirinya. Bahkan berbagai ramalan menatap masa depan bangsa, hanya berisi pesimistis dan sinis. Jika kearifan yang dimiliki manusia semakin sempit dan terbatas, barangkali kegelisahan sebagai anak bangsa semakin beralasan.
Potret sosial yang kini menjadi skenario massal masih menjadi tekanan dalam konteks berpolitik. Akibatnya, pertarungan yang tidak pernah akan menyelesaikan masalah terus berjalan tanpa ada ”rem” nya. Dan itu dapat kita lihat secara kasat mata, pertunjukan ”dagelan” yang hanya untuk memuaskan nafsu kekuasaan dan ingin menunjukkan kekuatan dalam menggalang
Padahal, tugas sebagai manusia yang berbudaya senantiasa mengulurkan cinta kasih, perdamaian dan menjaga harmoni kehidupan. Tetapi, kenyataannya sikap dan perilaku dalam potret masa kini, nilai-nilai etika, norma-norma sosial, dan hukum moral menjadi ”haram” untuk dijadikan landasan berpikir yang sehat. Bahkan, upaya untuk berani membohongi diri sendiri, adalah ciri-ciri lenturnya nilai-nilai budaya.
Dimensi sosial semacam ini,
Bicara soal ekonomi, bangsa
Jalan pintas melalui kesenian, barangkali masih bisa menjadi ”mediasi” silahturahmi di mata dunia. Karena dalam pendekatan kesenian, estika, etika, dan hukum moral merupakan ekspresi yang tidak pernah bicara soal kalah menang. Melainkan, dalam korelasi budaya pintu melalui kesenian masih bisa dijadikan komoditi yang bisa dijadikan akses kepercayaan.
Apalagi dengan diberikannya kebebasan terhadap otonomi daerah, melalui undang-undang No.22/1999 harus dipandang sebagai suatu masa pencerahan dalam pembangunan manusia seutuhnya. Karena dengan otoritas yang ada, daerah dapat membangun wilayahnya dan pengembangan terhadap kesenian tidak lagi dijadikan ”proyek” yang sentralistik di pusat,
Karena itu makna pembangunan, jangan hanya dilihat dari sukses dan tidaknya sarana jalan tol, pasar swalayan, mal-mal atau bahkan tempat-tempat hiburan yang kini sedang ”menggoda” mata budaya. Padahal ada hal yang lebih penting dari pesan Eric From dalam bukunya Manusia Bagi Dirinya bahwa, ”Ketidakharmonisan eksistensi, manusia menimbulkan kebutuhan yang jauh melebihi kebutuhan asli kebinatangannya. Kebutuhan-kebutuhan ini menimbulkan dorongan yang memaksa untuk memperbaiki sebuah kesatuan dan keseimbangan antara dirinya dan bagian alam.”
Jika demikian masalahnya, masihkah kita men-dewa-kan pembangunan dalam arti yang harafiah sebagai lingkup keberadaan manusia. Sebab masih ada yang lebih substansial, pembangunan manusia seutuhnya lewat kesenian adalah cermin bagi kepribadian bangsa. Ironis, selama ini kita hanya terlena dalam memikirkan nasib bangsa dari sisi pembangunan perut semata. Akibatnya, dari waktu ke waktu, kita hanya bisa merenungi peradaban baru yang membawa bangsa ini semakin bodoh.
Negara Berkebudayaan
KEBUDAYAAN dapat dilihat bagaimana warga berbuat sesuatu yang bermakna (sebagai proses) dan hasil perbuatan (produk). Manakala perbuatan dan hasilnya ini dicitrakan melekat pada kolektivitas suatu bangsa, maka disebut sebagai kebudayaan bangsa (nasional). Persoalan kebudayaan nasional perlu ditempatkan dalam arus besar kebudayaan global yang didorong oleh spirit neoliberalisme. Pengadopsian budaya global tidak terelakkan. Umumnya rezim negara yang korup didukung oleh kekuatan global, sepanjang negara terjamin menjadi pasar. Bagi kebanyakan penguasa, keadaan ini lebih menguntungkan sebab tanpa perlu membangun budaya bangsa, toh, dapat menjadi konsumen baik budaya warisan (heritage) maupun global.
Kebudayaan memang praktik warga sehari-hari. Namun, peranan penyelenggara negara sangat penting mengingat proses menyiapkan warga agar dapat berpraktik budaya (berbudaya) merupakan tugas utama negara. Makna kebudayaan yang pada hakikatnya mengandung nilai positif bagi kehidupan dikembangkan dalam tiga dimensi, yaitu keilmuan, etika, dan estetika. Dimensi keilmuan dilihat dari capaian-capaian pengetahuan dan teknologi, etika dengan penghayatan kebaikan universal dan multikultural dalam kehidupan nasional, serta estetika dengan apresiasi keindahan yang meningkatkan harkat kehidupan.
Begitulah kegiatan budaya pada hakikatnya bagaimana warga berkiprah dan menghasilkan sesuatu yang bermakna dalam ketiga dimensi tersebut. Maka, persoalan kebudayaan adalah bagaimana menghadirkan warga dengan kapasitas tertentu untuk dapat terlibat di dalamnya. Penyiapan warga inilah disebut sebagai proses pendidikan.
Menempatkan kebudayaan sebagai ranah yang terpisah dari proses pendidikan, sebagaimana dianut pemerintahan Megawati, boleh jadi karena mendefinisikan kebudayaan sebagai produk, bukan sebagai proses. Produk memang lebih mudah dan berharga untuk dijual, apalagi jika berasal dari warisan. Namun, pemerintah dapat terjebak dalam dimensi tunggal, pendidikan dipandang hanya melalui satu departemen, sehingga melalaikan masalah yang paling mendasar, yaitu pendidikan sebagai proses menyiapkan warga berbudaya.
Kata kunci bagi warga berbudaya adalah kecerdasan. Karena itu, sungguh jenial gagasan pendiri (founding fathers) Republik Indonesia yang dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945 sebagai: ".... membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia..." Dengan empat tujuan membentuk pemerintahan semacam itu ada guyonan bahwa "kabinet" yang diperlukan hanyalah bidang "politik dalam negeri" yang dapat melindungi warga dan wilayah, "kesra" yang dapat menciptakan peluang-peluang bagi kesejahteraan warga, "kebudayaan" yang dapat mencerdaskan warga, dan "politik luar negeri".
Definisi "mencerdaskan kehidupan bangsa" ini setelah hampir 60 tahun merdeka diartikan dalam kerangka sempit sebagaimana pemikiran tahun 1940-an. Bukalah Bab Pendidikan, Pasal 31: "1. Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran; 2. Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan suatu sistem pengajaran nasional, yang diatur dengan Undang-undang." Pendidikan diartikan sebagai pengajaran, sedang kebudayaan, dalam Pasal 32: "Pemerintah memajukan kebudayaan nasional Indonesia." Dalam penjelasan tercermin kebudayaan dilihat sebagai produk.
CARA pandang yang mempersempit pendidikan sebagai pengajaran, dan kebudayaan sebagai produk, menjadi pangkal dari pengabaian suatu strategi kebudayaan dalam kehidupan negara. Strategi kebudayaan menyangkut pengembangan budaya melalui berbagai institusi negara dan masyarakat. Untuk itu dilihat dalam dua cara, pertama, institusi yang perlu memiliki budaya yang menggerakkannya secara internal. Ini berlaku untuk institusi yang berkaitan dengan kehidupan publik, baik institusi negara maupun korporasi bisnis dan organisasi masyarakat sipil. Kedua, institusi yang secara eksternal memiliki fungsi dalam penumbuh kembang budaya warga, yaitu institusi pendidikan (persekolahan) dan media massa.
Pengabaian aspek pertama tercermin dari anomali dalam berbagai penyelenggaraan kehidupan publik. Birokrasi negara sepanjang Orde Baru mengadopsi tata cara dan etiket bertindak, termasuk istilah-istilah dari produk budaya Jawa, tetapi tidak berusaha mengembangkan budaya birokrasi untuk menggerakkan institusi ini. Pasca-Orde Baru, anomali ditunjukkan melalui perbuatan menyimpang yang meluas oleh anggota parlemen daerah.
Begitu pula pada aspek kedua, ketiadaan strategi kebudayaan ini tercermin dari institusi pendidikan yang berjalan sendiri-sendiri. Jutaan generasi muda (Islam) belajar di sekolah- sekolah yang sekaligus belajar agama dan keilmuan, berada di bawah naungan Departemen Agama yang disibuki mengurus jemaah haji setiap tahun. Padahal, anak-anak yang sekolah di madrasah dan pesantren berhak mendapat pendidikan yang sejajar dengan sekolah keilmuan umum yang berada di bawah Departemen Pendidikan.
Fungsi dari institusi pendidikan sekolah adalah memproses warga agar memiliki kemampuan berpraktik kebudayaan, dengan orientasi utama untuk dimensi keilmuan, disusul kemudian dimensi etika dan estetika. Dengan begitu, beban "dosa" dari institusi pendidikan secara keseluruhan adalah melalui kemunduran kebudayaan yang ditunjukkan melalui urutan: Pertama, rendahnya kegiatan dan hasil keilmuan dari suatu bangsa. Kedua, orientasi etika dalam proses pendidikan yang menghasilkan sikap eksklusif dan sektarian di tengah masyarakat majemuk dan global. Ketiga, selera estetika warga masyarakat yang semakin rendah.
Oleh karena itu perlu strategi kebudayaan yang dijalankan untuk menggerakkan seluruh institusi pendidikan untuk tujuan yang sama, baik yang berbasis umum maupun keagamaan. Langkah raksasa yang mendesak adalah memprioritaskan pembangunan institusi pendidikan berbasis agama Islam (madrasah dan pesantren) yang termarjinalisasi. Jika secara sosiologis mayoritas warga beragama Islam, maka bagian terbesar biaya pendidikan tentunya harus ke sini. Fasilitas untuk pendidikan ganda (dual education) dengan sendirinya memerlukan dukungan pembiayaan negara yang lebih besar.
Institusi pendidikan lainnya dalam proses kebudayaan adalah media massa. Fungsinya biasa dilihat dengan dua cara, secara negatif adalah terjaga independensinya agar kekuasaan negara tak melakukan dominasi informasi dan hegemoni alam pikiran warga. Dengan kata lain, penguasa negara "haram" hukumnya melakukan propaganda melalui media yang dikuasainya.
Sementara dari fungsi secara positif, media massa dibedakan, pertama, media pers yang membawa khalayak ke ruang publik (public sphere); dan kedua, media hiburan yang memberikan kesenangan psikis. Masing-masing membawa "beban" budaya, yaitu pertama menumbuhkan rasionalitas dalam menghadapi fakta di ruang publik, sedangkan yang kedua menumbuhkan penghayatan etika dan estetika dalam kehidupan warga.
Kedua fungsi ini biasanya tidak dapat berjalan secara optimal akibat dorongan komersial. Dari sinilah muncul tuntutan adanya media publik, yaitu institusi yang sepenuhnya diorientasikan untuk menumbuhkan rasionalitas warga di ruang publik serta orientasi etika dan estetika dalam fungsi psikis bagi publik. Media semacam ini jauh dari modal komersial, sepenuhnya digerakkan modal sosial ataupun pembiayaan negara.
Di tengah masyarakat majemuk, keberadaan media publik ini semakin dirasakan penting untuk menjalankan orientasi multikultural dan menumbuhkan masyarakat terbuka. Kalau saat ini di antara media publik yang disebut dalam UU Penyiaran adalah TVRI, sementara pemerintah malah menjadikannya sebagai korporasi pesero, sudah selayaknya langkah ini dikoreksi.
Sumber: http://athika-unindrabio2a.blogspot.com/2008/07/nilai-etika-dan-estetikaAshadi Siregar Direktur Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerbitan Yogyakarta (LP3Y)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar